Kamis, 19 April 2012

PEMBERIAN INSENTIF BAGI SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN YANG MELAKSANAKAN PENUGASAN KHUSUS

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1235/MENKES/SK/XII/2007 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF BAGI SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN YANG MELAKSANAKAN PENUGASAN KHUSUS MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan dari Pasal 11 untuk ketentuan besaran insentif bagi Sumber Daya Manusia Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1231/MENKES/PER/XI/2007 tentang Penugasan Khusus Sumber Daya Manusia Kesehatan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pemberian Insentif Sumber Daya Manusia Kesehatan yang Melaksanakan Penugasan Khusus; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548); 7. Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438); 8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Bencana (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 66; TLN nomor 4723); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Kab/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737), 11. Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1991 tentang Pengangkatan Dokter Sebagai Pegawai Tidak Tetap selama Masa Bakti; 12. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengangkatan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2000; 13. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004; 14. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006; 15. Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau- Pulau Kecil Terluar; 16. Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kesehatan Nomor 1122/ Menkes/ SKB/ 1999 dan Nomor NKB/01/IX/1999 tentang Kerjasama Pembinaan Kesehatan dalam Rangka Pertahanan Keamanan Negara; 17. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1207.A/MENKES/SK/VIII/2000 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis dan Dokter Gigi Spesialis; 18. Keputusan Menteri Kesehatan Namor 979/MENKES/SK/IX/2001 tentang Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi; 19. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1212/MENKES/SK/IX/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengangkatan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap; 20. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1199/MENKES/PER/X/2004 tentang Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan dengan Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan Milik Pemerintah; 21. Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 001 Tahun 2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal; 22. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 258/MENKES/PER/ll/2005 tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dan Tenaga Lainnya Dalam Rangka Penanggulangan Pasca Bencana Nasional di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara; 23. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 066/MENKES/SK/II/2006 tentang MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan Dalam Penanggulangan Bencana; 24. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan; 25. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 508/MENKES/SK/IV/2007 tentang Penetapan Lama Penugasan dan Besaran Insentif Bagi Tenaga Medis dan Bidan Pegawai Tidak Tetap yang Bertugas Pada sarana Pelayanan Kesehatan; 26. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran; 27. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1231/MENKES/PER/XI/2007 tentang Penugasan Khusus Sumber Daya Manusia Kesehatan; M E M U T U S K A N : Menetapkan : KESATU : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEMBERIAN INSENTIF BAGI SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN YANG MELAKSANAKAN PENUGASAN KHUSUS. KEDUA : Besaran insentif sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu, sebagaimana terlampir dalam keputusan ini. KETIGA : Besaran insentif sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua, merupakan acuan bagi satuan kerja terkait untuk pemberian insentif bagi Sumber Daya Manusia Kesehatan yang melaksanakan penugasan khusus. KEEMPAT : Segala biaya sebagai pelaksanaan dari Keputusan ini dibebankan pada Anggaran Belanja Departemen Kesehatan. KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 Desember 2007 MENTERI KESEHATAN, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1235/MENKES/SK/XII/2007 Tanggal: 7 Desember 2007 Besaran Insentif Bagi Sumber Daya Manusia Kesehatan Yang Melaksanakan Penugasan Khusus 1. Kepada Sumber Daya Manusia Kesehatan yang melaksanakan penugasan khusus samping penghasilan yang diterimanya diberikan insentif. 2. Besaran Insentif (termasuk PPh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Dokter Spesialis/ Dokter Gigi Spesialis dan Residen Senior peserta PPDS sebesar Rp. 7.500.000,- (Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)/orang/bulan. b. Dokter/ Dokter Gigi/ Apoteker/ Pasca Sarjana sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah)/ orang/bulan. c. Sarjana sebesar Rp. 4.000.000,- (Empat Juta Rupiah)/orang/bulan. d. Perawat mahir/ Penata Anestesi lulusan Diploma III dan memiliki sertifikat kemahiran tambahan sebesar Rp. 3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah)/orang/bulan. e. Perawat/ Bidan/ Sanitarian/ Tenaga Gizi/ Penata Rontgen/ Analis Laboran lulusan Diploma III sebesar Rp. 2.500.000,- (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)/orang/bulan. f. Tenaga Diploma III lainnya sebesar Rp. 2.000.000,- (Dua Juta Rupiah)/orang/bulan. g. Diploma I sebesar Rp. 1.500.000,- (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)/orang/bulan. h. SMU/SMK sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah)/orang/bulan. i. SMP dan SD sebesar Rp. 700.000,- (Tujuh Ratus Ribu Rupiah)/orang/bulan. 3. Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada Butir 2 dibayarkan setiap bulan kepada Sumber Daya Manusia Kesehatan yang melaksanakan penugasan khusus yang secara nyata telah melaksanakan tugas. MENTERI KESEHATAN, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K)

Selasa, 17 April 2012

Minggu, 29 Juli 2007

Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) pada Syok Hipovolemik

Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) pada Syok Hipovolemik

ahmad jais


Definisi dan Penyebab Syok

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif.

Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:

  1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.
  2. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
  3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang jelek.

Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, dan syok anafilaksis. Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:

  1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
  2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500--1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000--1500 ml perdarahan.
  3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
    1. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
    2. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
    3. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.

Gejala dan Tanda Klinis

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.

Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:

  1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
  2. Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
  3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.
  4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.

Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan; (2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta (3) Bola mata cekung.

Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada dehidrasi berat.

Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal. Pada insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal melakukan metabolisme laktat. Pemberian HCO3 (bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,0--7,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4% selama satu jam. Sementara, untuk pH <>

Pemeriksaan Laboratorium - Hematologi

Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar hemoglobin dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh ditunda menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik mungkin rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada penyebab syok.

Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah diberikan, nilai hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah merah seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada keadaan ini nilai hematokrit menjadi tinggi.

Diagnosa Differensial

Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi pada hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada trauma cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik karena penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak jarang terjadi pada pasien yang dirawat di Unit Gawat Darurat.

Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput, oligurik, dan takhikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan. Untuk membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium (gula darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa 50% intravena atau 40 ml larutan dextrose 40% intravena.

Resusitasi Cairan

Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.

Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.

Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah.

Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akuta.

Pemilihan Cairan Intravena

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.

Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18--24 jam sesudah cedera luka bakar.

Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.

Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.

Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian (Lihat gambar).

Daftar Pustaka

  1. Darmawan, Iyan, MD, Cairan Alternatif untuk Resusitasi Cairan: Ringer Asetat, Medical Departement PT Otsuka Indonesia, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan.
  2. FH Feng, KM Fock, Peng, Penuntun Pengobatan Darurat, Yayasan Essentia Medica - Andi Yogyakarta, Edisi Yogya 1996 hal 5--16
  3. Hardjono, IS, Biomedik Asam Laktat, Bagian Biokimia FK Undip Semarang, Majalah Medika No. 6 Tahun XXV Juni 1999 hal 379-384
  4. Pudjiadi, Tatalaksana Syok Dengue pada Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Agustus 1999.
  5. Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, Jakarta, 14 Agustus 1999.
  6. Thaib, Roesli, Syok Hipovolemik dan Terapi Cairan, Kumpulan Naskah Temu NAsional dokter PTT, FKUI, Simposisum h 17-32
  7. Wirjoatmodjo, M, Rehidrasi - Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Kedua, ED Soeparman, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987 hal 8--12

Tabel 1. Jenis-jenis Cairan Kristaloid untuk Resusitasi

Cairan

Na+ (mEq/L)

K+ (mEq/L)

Cl- (mEq/L)

Ca++ (mEq/L)

HCO3 (mEq/L)

Tekanan Osmotik mOsm/L

Ringer Laktat

130

4

109

3

28*

273

Ringer Asetat

130

4

109

3

28:

273

NaCl 0.9%

154

-

154

-

-

308

* sebagai laktat
: sebagai asetat

ASA

ASA CLASSIFICATION OF PHYSICAL STATUS

NO

BOLDNESS

Class

I

Normal healthy patient with a localized proses

Class

II

Patient with mild to moderate systemic disease

Class III

Patient with systemic disease, limiting activity but not incapacitiating

Class IV

Patient with severe incapacitiating systemic disease that is a constant threat of life

Class V

Moribund patient not expexted to survive 24 hours without surgery

Class V(E)

Emergency operation the symbol Eis appended to the appropriate classification